PERBARUI.COM - Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I salah satu pokok pembahasannya adalah Piagam PBB. Mengapa hal tersebut dibahas?
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholis Staquf mengungkapkan alasan kenapa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di mata syariat menjadi tema dalam Muktamar Internasional Fiqih Perdaban I tersebut.
Gus Yahya menuturkan bahwa pembicaraan mengenai toleransi dan perdamaian baru mencuat belum lama. Karena, pada awal-awal abad ke-20, umat manusia tidak menganggap penting berbicara soal toleransi.
Baca Juga: PBNU Tegaskan Tidak Ada Pembatasan, Semua Boleh Datang ke Sidoarjo!
Di masa-masa itu, lanjut Gus Yahya, tidak ada sebuah peradaban baik Islam, Kristen ataupun agama lain tidak ada tampilan toleran. Bahkan dalam sejarah, perang salib pernah dilakukan sampai tiga kali.
"Perang Utsmani berhadapan dengan Eropa ratusan tahun. Di Timus, Kerajaan India dan Kekuatan Hindu konflik. Sunni-Syiah konflik ratusan tahun berdarah-darah. Konflik Katolik, Protestan, dan Anglikan ratusan tahun juga. Anglikan sama Katolik, Inggris dan Irlandia belum lama abru bisa diselesaikan," tutur Gus Yahya dikutip dari NU Online.
Kemudian, menurut Gus Yahya, orang-orang mulai berbicara mengenai perdamaian setelah lahirnya Piagam PBB pasca berakhirnya Perang Dunia II.
Baca Juga: Ketum PBNU: Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I Merupakan Lanjutan R20
"Sebelum itu, yang ada di dalam wacana Islam misalnya, isinya konflik. Orang kafir halal darahnya. Kalau mau dirujuk referensi sebelum piagam PBB ya isinya itu (soal konflik)," katanya.
Sehingga, Gus Yahya mengungkapkan, untuk mengembangkan wacana syariat mengenai toleransi dan perdamaian, maka harus mengacu pada Piagam PBB. Untuk inilah tema kedudukan Piagam PBB di mata syariat diambil.
"Ini perjanjian sah atau tidak (di mata syariat)? Karena ini perjanjian di antara pemimpin-pemimpin politik. Kalau ini sah di mata syariat, ini urusan pertimbangan fiqih, dengan disiplin yang sangat kompleks," ucap Gus Yahya.
Baca Juga: Muktamar Fiqih Peradaban I Akan Dihadiri 79 Ulama dari 32 Negara
"Tapi, rumusan itu yang bisa dijadikan pijakan dan mengikat bukan hanya bagi anggota PBB, tapi bagi warga negara masing-masing," lanjutnya.
Karena lanjutnya, kalau kita tengok referensi abad pertengahan, tidak ada juga HAM universal. Kafir dzimmi itu dilindungi tapi tetap warga kelas dua. Di Inggris, orang-orang Anglikan dari Irlandia menjadi warga kelas dua. Mereka tidak bisa jadi pegawai negeri, kaau tentara mentok hanya jadi sersan.
Sehingga, Gus Yahya berkeinginan untuk menjadikan konsep HAm universal itu memiliki legitimasi di mata syariat.***
Artikel Terkait
Muktamar Fiqih Peradaban I Akan Dihadiri 79 Ulama dari 32 Negara
Resmi, Arab Saudi Tuan Rumah Piala Asia 2027
Perkuat Koalisi, Anies Baswedan Bertemu AHY di Kantor Demokrat
Kornas ProGP Nilai Ganjar Pilihan Paling Ideal Bagi Milenial
Kritik Masa Jabatan Kades 9 Tahun, Pemuda Ini Dipaksa Minta Maaf
Keluhan Peserta Petani Milenial Jabar, Hanya Dijadikan Alat Politik Saja
Masa Jabatan Kades 9 Tahun, Mahfud MD: Belum Tentu Disetujui
Ketum PBNU: Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I Merupakan Lanjutan R20
PBNU Tegaskan Tidak Ada Pembatasan, Semua Boleh Datang ke Sidoarjo!
Surya Paloh Temui Ketum Golkar, PKS: NasDem Tak Akan Khianati Koalisi